Baru kusadari jika gadis kecil penjaja koran di perempatan jalan jermursari tersebut tidak pernah aku temui lagi sejak sekitar sebulan ini. Yang tampak justeru teman-temannya sesama penjaja koran yang lebih besar dari padanya. Aku ingat sekitar 1 tahun lalu ketika aku pulang kantor dan melewati perempatan itu sekitar jam 20.00 malam dan harus berhenti karena lampu sedang merah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara anak kecil di sampingku yang menawarkan korannya; “koran om, koran.” Dengan spontan aku menolaknya karena ketika itu aku pikir koran yang dijajakannya adalah koran pagi hari dimana aku sendiri telah membacanya di kantor. Berhari-hari kemudian setiap kali aku melewati perempatan itu aku selalu memperhatikan gadis kecil itu dengan gesitnya menawarkan korannya kepada setiap mobil yang berhenti karena lampu merah, dan itu makin menarik perhatianku karena gadis kecil itu harus bersaing dengan sesama penjual koran yang lebih besar dari dirinya. Akhirnya aku mulai membeli korannya dan selalu aku beri uang limaribu rupiah dengan mengatakan; “ambil aja kembaliannya, nak”. Dan begitulah setiap kali aku melewati perempatan itu aku akan berharap mendapat lampu merah dan begitu pula gadis kecil itu akan langsung berlari menyongsong mobilku begitu melihatnya. Akhirnya diantara kami timbullah semacam kerinduan, aku merindukan sosok putri kecilku yang tinggal bersama ibunya di kota yang lain sedangkan gadis kecil itu, aku yakin merindukan korannya dibeli. Ya, gadis kecil itu kira-kira seusia putri kecilku nun dirumah sana.
Pernah aku sengaja parkir di ruko seputar perempatan itu dan membeli seloyang martabak manis yang dijual disana, dan kemudian kupanggil gadis kecil itu bersama temannya untuk menikmatinya bersama. Dari situ aku baru tahu namanya adalah Mila. Ketika itu Mila baru berumur 6 tahun dan sudah harus berjualan koran sampai malam hari. Ketika aku tanyakan; “Mila rumahnya dimana?” jawabnya ,i>“di wiyung om.” Kemudian aku bertanya lagi; “terus kamu naik apa dari wiyung kesini?” dan dijawab oleh temannya yang bernama Sumi yang kutaksir sudah berusia sekitar 9 tahun; “ Mila dianter bapaknya om kalo kesini, bapaknya khan tukang becak, nah nanti jam sembilan malam bapaknya lewat sini dan sekalian jemput Mila.” Aku cuma bisa berkata ; “Oo, begitu ya.” Dari situ aku sudah dapat membayangkan kehidupan macam apa yang dijalani oleh gadis kecil bernama Mila tersebut. Ketika anak-anak seusianya sedang menonton televisi, bersenda gurau dengan keluarganya maka pada saat yang sama gadis kecil bernama Mila itu harus berjualan koran sampai nanti bapaknya melewati jalan tersebut dan menjemputnya dengan becak yang dimilikinya.
Hari demi hari akhirnya aku makin mengerti kisah gadis kecil itu, sejak pagi Mila harus membantu ibunya mempersiapkan ubo rampe nasi pecel dirumah mereka untuk kemudian bersama ibunya naik becak yang dikemudikan oleh bapaknya menuju pasar wonokromo untuk berjualan. Sekitar jam 13.00 maka bersama bapaknya, Mila akan mengambil dagangan koran di loper stasiun wonokromo untuk kemudian dijual di perempatan tersebut. Perlu diingat bahwa harga koran yang mereka ambil siang hari hanya setengah harga dari pagi hari. Dan sekitar jam 14.00 mereka sekeluarga akan kembali pulang kerumah dan pada jam 17.00 sang bapak akan kembali menarik becaknya dengan tidak lupa menurunkan menurunkan Mila diperempatan tersebut untuk kemudian dijemput lagi jam 21.00, demikian rutinitas mereka setiap harinya.
Dan aku, pada akhirnya akan berusaha melewati perempatan tersebut setiap kali pulang dari kantor hanya untuk melihat senyum bahagianya ketika menyongsong mobilku serta mengulurkan korannya untuk kubayar tanpa kuminta kembaliannya. Dan aku, pada akhirnya akan berusaha melewati perempatan tersebut setiap kali pulang dari kantor hanya untuk melihat kegigihan gadis kecil bernama Mila itu menjalani hidupnya. Senang rasanya hatiku ketika mendengar suara kecilnya berkata; “terima kasih ya, om” atau suatu ketika dagangan korannya telah habis, dan gadis kecil bernama Mila itu akan berkata; “maaf ya om, korannya sudah laku” atau bahkan pernah;,i> “koranku belum ada yang laku dari tadi om.”,/i> Dan aku akhirnya akan memborong semua korannya yang tidak laku tersebut. Beberapa temanku yang mengetahui kebiasaanku terhadap gadis kecil bernama Mila itu sering mengingatkanku untuk tidak terlalu menaruh perhatian dengan selalu memborong korannya setiap kali melewati perempatan tersebut, tetapi aku selalu berkesimpulan bahwa “aku kagum pada sosoknya yang selalu gembira meskipun kehidupan yang berat terlalu dini menghampirinya.”
Karena kesibukannku dengan pekerjaan, sampai pada akhirnya baru kusadari jika gadis kecil penjaja koran di perempatan jalan jermursari tersebut tidak pernah aku temui lagi sejak sekitar sebulan ini. Dan di malam itu aku kembali sengaja berhenti di parkiran ruko disekitar perempatan itu untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak melewatkan gadis kecil bernama Mila yang menjajakan koran. Ketika aku yakin tidak menemukan gadis kecil bernama Mila itu akhirnya aku menghampiri salah seorang anak yang juga berjualan koran disitu dan bertanya; “dik, si Mila kemana ya kok saya enggak pernah liat dia jualan koran lagi?” dan penjual koran itu menjawab; “ Mila udah enggak disini om, Mila udah mati hampir sebulan lalu karena kesamber motor waktu jualan korannya, yang nabrak lari om, gak ketangkep.” Dan aku terhenyak mendengar jawaban lugas tersebut. Jawaban yang terkesan biasa saja bagi kehidupan anak-anak jalanan.
Dan di malam itu, didalam kamar kontrakanku, aku berdoa diatas sajadahku ; “ selamat jalan gadis kecil bernama Mila, Gusti Allah lebih menyayangimu dengan pilihaNYA yang diberikan padamu, selamat jalan nak.” Dan pelan-pelan air mataku menetes di kedua pipiku.
Kutisari.30.06.2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar