Aku punya seorang kawan ketika jaman kuliah dahulu, anak ini cerdas dan menjadikan dirinya dapat menyelesaikan kuliah hanya dalam 5 semester plus semester pendek yang selalu rajin diikutinya. Bencinya setengah mati dengan birokrasi pemerintah yang menjurus pada korupsi, baginya semakin rumit birokrasi berarti semakin besar celah untuk terjadinya korupsi. Kalau berbicara tentang bagaimana pemerintah yang ideal kita akan seperti mendengarkan pidato seorang orator ulung didepan rakyatnya. Dan terakhir kudengar dia bekerja di salah satu department di kementerian negara, sampai suatu ketika kubaca namanya tersandung dalam suatu kasus yang sedang digarap oleh KPK (Komite Pemberantasan Korupsi). Bagaimana dari seseorang yang begitu bencinya terhadap tindakan korupsi tetapi kemudian tersandung kasus korupsi, aku tidak pernah tahu, yang jelas hal seperti ini merupakan fenomena yang sering terjadi disekitar kita. Kita pernah mendengar beberapa tahun lalu seorang kriminolog juga akhirnya dipenjara karena tindakan kriminal, seorang alim ulama yang diidolakan para wanita akhirnya melakukan poligami dan kemudian dijauhi oleh jamaahnya yang kebanyakan wanita, bagaimana seorang aktivis pro-reformasi kemudian malah melakukan tindakan anti reformasi ketika sudah duduk dikursi kekuasaan, dan masih banyak lagi contoh kasus lainnya. Jangan kecewa jika seseorang yang kita kenal atau panutan kita akan melakukan hal yang berlawanan dengan pernyataannya sendiri. ‘isuk dele sore dadi tempe’ kalau kata orang jawa (pagi masih kedelai, sore sudah menjadi tempe), bukankah memang lidah tidak bertulang sehingga manusia sering omdo alias omong doang.
Kita sering tidak sadar bahwa terdapat perbedaan antara mengatakan sesuatu dengan melakukan sesuatu padahal yang diperlukan sebenarnya adalah kesadaran kita. Contoh dari yang aku alami : kita (para perokok) tahu bahwa bahaya merokok bisa A – Z dampaknya bagi kesehatan tubuh kita, dan kita kerap mengatakan pada anak kita ketika kita sedang merokok untuk menjauh dari kita karena berbahaya bagi kesehatannya, tetapi kita (para perokok) tetap saja merokok. Sementara yang paling diperlukan adalah justeru kesadaran kita untuk berhenti merokok sama sekali. Jadi ketika kita mengatakan tentang bahaya merokok sementara kita masih melakukannya (merokok) sebenarnya kita masih belum (mau) sadar. Baru nanti setelah mendapat ‘musibah’ setelah mendengar vonis dokter bahwa kita berpotensi sakit jantung atau paru-paru karena merokok maka sadarlah kita untuk berhenti merokok. Biasanya seseorang baru akan tersadar ketika sudah mendapat musibah, nasi sudah menjadi bubur kalau kata pepatah.
Pada saat kita mengatakan paparan ideal, kita sering hanya membayangkan keadaan ideal kita saat itu saja, kita lupa bahwa keadaan berubah tiap waktu dan manusia pun berubah karena waktu. Kasus kawanku di awal tulisan tadi sudah menjadi contoh, ketika dia berbicara mengenai bagaimana buruknya tindakan korupsi sebenarnya dia hanya berteori saja karena kawan ini belum merasakan bagaimana rasa korupsi tersebut dan ketika korupsi dirasakannya ternyata ‘lezatnya’, maka dicicipinya dan bahkan dijadikan kudapan utamanya. Dan ketika kelezatan korupsi berakibat harus berhadapan dengan KPK maka baru tersadarlah kawan ini, kembali nasi sudah menjadi bubur.
Kita sering merasa sudah cukup berbuat baik pada saat kita mengucapkannya saja sementara kita (sebetulnya) belum melakukan apapun seperti ucapan kita. Ketika kita melihat ada rekan kita melakukan selingkuh dan kemudian kita menasehatinya bukan berarti kita disuatu saat tidak akan melakukan perselingkuhan yang serupa. Kita ini manusia yang cenderung dekat dengan keduniawian dimana kita bisa melakukan hal yang lebih buruk dari sekedar nasehat kita. Jangan pernah menyatakan nasehat tentang kebaikan atau keburukan akan suatu hal jika kita belum pernah mengalaminya karena hal tersebut hanya merupakan teori belaka.
Pernahkan kita rasakan bahwa sesungguhnya semakin kita membenci sesuatu maka diam-diam jauh didalam lubuk hati kita sebenarnya kita juga menginginkan hal/perbuatan yang kita benci tersebut? Ketika kita membenci korupsi sebenarnya kita juga menginginkan melakukan korupsi tersebut, hanya tinggal menunggu waktu dan kesempatannya. Ketika kita memandang miring tentang suatu perselingkuhan atau poligami sebenarnya jauh didalam lubuk hati juga ada sebersit pertanyaan ‘gimana sih rasanya mendua’. Ketika kita melihat korban narkoba kita kerap terlintas pertanyaan ‘apa sih enaknya narkoba’.
Kembali lagi, dari semua itu yang paling kita perlukan adalah K E S A D A R A N kita dalam memandang dan menghadapi suatu permasalahan. Dengan kesadaraan, Insya Allah kita akan menjadi lebih jernih dalam menilai apa yang terjadi disekitar kita.Dengan kesadaran akan timbul rasa takut kita untuk melakukan suatu hal yang sekiranya bertentangan dengan norma Agama dan Sosial. Dan dengan kesadaran rasanya tulisan ini aku selesaikan sampai disini karena aku tidak mau dicap omong doang ketika kalian melihatku kelak tidak sesuai dengan tulisanku. :)
Salam kesadaran.
kutisari 28.07.2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar