Minggu, 27 Februari 2011

SHARE :: Ijinkan Aku Mencium Kaki Suamiku untuk Terakhir Kalinya # oleh Isti Ambarwati #

Kisah nyata ini ditulis oleh Isti Ambarwati

ERUPSI Merapi 05 November 2010 tepatnya pukul 00.15 WIB meninggalkan luka dan duka teramat pedih bagi kami warga desa Glagaharjo, (Sleman, D.I. Yogyakarta - red), khususnya bagiku dan keluargaku di dusun Ngancar. Sampai saat ini semuanya masih terasa seperti mimpi bagiku. Dalam hitungan menit 8 dari 10 dusun dari desa Glagaharjo hancur rata tersapu material vulkanik Merapi. Tak hanya rumah dan harta benda yang hilang, tetapi juga ratusan nyawa hilang termasuk suamiku tercinta “MUJIMAN”. Raga ini serasa lemas tak bernyawa ketika harus mendengar orang yang bergitu kucintai dinyatakan meninggal dalam tragedi erupsi Merapi 2010.

Empat jam sebelum peristiwa erupsi kedua tepatnya tanggal 4 November 2010 pukul 20.00 WIB, terakhir kali aku melihat suamiku di pengungsian untuk menjengukku, tanpa pesan dia berangkat pergi untuk kembali ke rumah. Hanya satu pertanyaan yang dia ulang 3 kali sebelum pergi yang masih terngiang dalam telingaku dan belum sempat kujawab sampai saat ini, “Apakah ma sudah ikhlas pa pergi?” Apakah ini firasat darimu, Ya Allah?

4 tahun berpacaran dan 4 bulan menikah aku setia dan ikhlas mendampingi suamiku... Tapi kenapa di usia pernikahan dan kandunganku 4 bulan 4 hari engkau renggut dia sandaran hidupku dan ayah dari anak yang ada dalam kandunganku begitu cepat dan tragis? Apa salah dan dosaku kenapa Engkau timpakan ujian yang begitu berat ini padaku, Ya Allah? Hati dan raga ini belum puas rasanya untuk tetap bersanding dan menatap wajahnya ketika beranjak tidur.

Evakuasi demi evakuasi selalu aku ikuti, bahkan ayahku sendirilah yang turun langsung dalam pengambilan 7 jenasah dan 5 bangkai sepeda motor serta 1 mobil di rumahku termasuk motor suamiku. Ruang Forensik Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta bukan tempat yang menakutkan lagi bagiku untuk melihat kantung penuh mayat yang membusuk tanpa identitas pasti, tapi entah mengapa sampai saat ini belum ada jenasah yang identik dengan suamiku.

66 hari sudah sejak tanggal 04 November 2010 aku dan keluargaku berada di tenda pengungsian dan bukan waktu yang pendek serta mudah untuk tetap bertahan hidup menjaga diri dan anak dalam kandunganku tanpa suamiku. Sampai cerita ini kubuat aku tetap menunggu jalannya pengerukan material vulkanik untuk mencari jasad suamiku dan warga sekitar yang disinyalir masih tertimbun di rumahku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini berakhir, aku juga tidak tahu sampai kapan pula penantianku padamu suamiku ini akan terjawab. Berat rasanya aku menerima kenyataan bahwa engkau telah tiada. Bingung hati ini bagaimana harus menjelaskan kelak pada anakku jikalau ayahnya telah tiada tanpa sempat mengenang wajah dan kasih sayang dari ayahnya. Lelah rasanya aku menjalani sisa usia ini, tapi aku berusaha bertahan dan ikhlas hanya demi anak dalam kandunganku ini dan janjimu suamiku untuk menjemputku serta menjagaku di manapun aku berada.

Satu pintaku padamu Ya Allah Ya Tuhanku ijinkan aku bertemu dengan suamiku agar aku dapat bersujud dan mencium kaki suamiku wujud darma baktiku sebagai istri meskipun untuk yang terakhir kalinya. ***

Catatan Redaksi: Esai ini meraih Juara I untuk Kategori Umum Lomba Esai tentang Merapi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Yogyakarta. Redaksi Indonesia Art News memandang perlu pemuatan esai ini untuk penguatan memori publik atas bencana alam Gunung Merapi agar tidak tergesa dilupakan. Pemuatan ini juga bertepatan dengan momentum 3 bulan setelah puncak bekerjanya (= meletusnya) gunung Merapi pada tanggal 5 November 2010 lalu. Banyak korban jiwa dan harta benda karena letusan tersebut. Isti Ambarwati, penulis esai ini, termasuk salah satu korban. Dia ditinggalkan untuk selamanya oleh suami tercinta yang terkena awan panas. Saat ini, Isti tengah mengandung jabang bayi berusia 7 bulan. Isti Ambarwati dapat dihubungi lewat handphone di nomor 087839885288 (tentu harus dengan waktu yang tepat agar tidak mengganggu privasi dan kondisi kesehatan yang bersangkutan). Terima kasih.

Tidak ada komentar: