Selasa, 02 November 2010

Encouragement

kali ini saya tidak menulis sendiri, tetapi mengambil hasil tulisan pak Rhenald Kasali (mohon ijin pak demi kebaikan bersama)



Encouragement

oleh : RHENALD KASALI



LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.



Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanyaitu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajarbahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkankepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas.Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.



Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karanganitulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilaiburuk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankahpendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilaitinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak darimana?" "Dari Indonesia," jawab saya.Dia pun tersenyum.



Budaya Menghukum



Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangunmasyarakat. "Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulaiberkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibudari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeriAnda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sinibukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.Encouragement!" Dia pun melanjutkan argumentasinya.



"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untukanak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasaInggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnyamenunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusiitu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasiorang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya sayamenyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program masterhingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studijungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siapmenerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya denganmudah.



Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harusbenar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorangpenguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkanikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Merekamenunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkanseterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuhketerbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknyasering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut"menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.



Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskanpertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan beritatidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Sayasempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana paradosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnyapun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnyatidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan sayatemukan juga menguji dengan cara menekan.



Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimanaguru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslahanak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintarsecara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yangmembangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibuguru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kitadengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuhkesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yangditulis dalam bentuk verbal.



Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namunrapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yangmendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telahmemulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. NamunSarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu sayamendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Sayaingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaianyang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yangberarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah".Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.



Melahirkan Kehebatan



Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatandan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentukoleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik,kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutanrokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kataancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarnamerah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.



Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kitamenjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikaninisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otakternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapatmengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangattergantung dari ancaman atau dukungan(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikiankecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yangsering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintaratau bodoh.



Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambahbodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukanmenaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukandengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)



RHENALD KASALI

Ketua Program MM UI



Source :http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.seputar-indonesia.com%2Fedisicetak%2Fcontent%2Fview%2F338297%2F&h=4a93c

Tidak ada komentar: