by Widia Erlangga on Tuesday, October 12, 2010 at 8:16am
padamu negri kami berjanji...
padamu negri kami berbakti...
padamu negri kami mengabdi...
bagimu negri, jiwa raga kami...
masih ada yang ingat lagu diatas? semoga kita masih ingat dan semoga anak-anak kita masih bisa menyanyikannya.
pagi ini aku terbangun dengan rasa sesak didada melihat negriku makin terpuruk - mengenaskan dan teringat akan lagu ini.
Masya Allah negriku sedemikian parahnya dan sepertinya tidak perlu aku sebutkan keparahan seperti apa yang dihadapi oleh kita semua sebagai warna negara negri ini : INDONESIA.
sudah selayaknya negri ini dinikmati oleh KITA semua sebagai rakyatnya - karena merupakan hak kita sebagai warga negara.
bukan dinikmati hanya oleh sebagian orang.
apalagi oleh bangsa-bangsa asing.
kita sudah makin melupakan sejarah negri ini, melupakan bagaimana negri ini bisa terbentuk, melupakan akar negri ini dan ini yang menjadikan negri ini menjadi makin carut-marut.
ayo kita mulai ajarkan kepada anak-anak kita tentang bagaimana asal-muasal negri ini, ajari anak-anak kita sejarah negri ini agar mereka mampu mengenal dan mengerti negri tempat tumpah darah mereka.
karena anak-anak jika tidak, maka anak-anak kita akan mengalami apa yang kita rasakan saat ini : keterpurukan.
setidaknya kita mulai dari sekarang-saat ini! agar kita bisa mewarisi negri ini yang sebenarnya kepada anak-anak kita.
padamu negri kami berjanji...
padamu negri kami berbakti...
padamu negri kami mengabdi...
bagimu negri, jiwa raga kami...
Selasa, 02 November 2010
Encouragement
kali ini saya tidak menulis sendiri, tetapi mengambil hasil tulisan pak Rhenald Kasali (mohon ijin pak demi kebaikan bersama)
Encouragement
oleh : RHENALD KASALI
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanyaitu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajarbahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkankepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas.Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karanganitulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilaiburuk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankahpendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilaitinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak darimana?" "Dari Indonesia," jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangunmasyarakat. "Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulaiberkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibudari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeriAnda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sinibukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.Encouragement!" Dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untukanak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasaInggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnyamenunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusiitu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasiorang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya sayamenyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program masterhingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studijungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siapmenerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya denganmudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harusbenar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorangpenguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkanikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Merekamenunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkanseterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuhketerbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknyasering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut"menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskanpertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan beritatidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Sayasempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana paradosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnyapun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnyatidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan sayatemukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimanaguru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslahanak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintarsecara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yangmembangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibuguru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kitadengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuhkesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yangditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namunrapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yangmendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telahmemulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. NamunSarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu sayamendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Sayaingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaianyang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yangberarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah".Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatandan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentukoleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik,kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutanrokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kataancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarnamerah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kitamenjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikaninisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otakternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapatmengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangattergantung dari ancaman atau dukungan(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikiankecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yangsering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintaratau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambahbodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukanmenaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukandengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Source :http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.seputar-indonesia.com%2Fedisicetak%2Fcontent%2Fview%2F338297%2F&h=4a93c
Encouragement
oleh : RHENALD KASALI
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanyaitu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajarbahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkankepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas.Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karanganitulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilaiburuk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankahpendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilaitinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes,ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak darimana?" "Dari Indonesia," jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangunmasyarakat. "Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulaiberkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibudari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeriAnda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sinibukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.Encouragement!" Dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untukanak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasaInggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnyamenunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusiitu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasiorang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya sayamenyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program masterhingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studijungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siapmenerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya denganmudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harusbenar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorangpenguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkanikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Merekamenunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkanseterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuhketerbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknyasering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut"menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskanpertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan beritatidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Sayasempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana paradosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnyapun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnyatidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan sayatemukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimanaguru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslahanak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintarsecara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yangmembangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibuguru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kitadengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuhkesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yangditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namunrapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yangmendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telahmemulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. NamunSarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu sayamendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Sayaingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaianyang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yangberarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah".Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatandan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentukoleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik,kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutanrokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kataancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarnamerah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kitamenjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikaninisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otakternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapatmengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangattergantung dari ancaman atau dukungan(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikiankecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yangsering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintaratau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambahbodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukanmenaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukandengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Source :http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.seputar-indonesia.com%2Fedisicetak%2Fcontent%2Fview%2F338297%2F&h=4a93c
Sepele
by Widia Erlangga on Thursday, August 26, 2010 at 1:18am
Sahabat, pernahkah engkau merasakan hal sepele yang menimbulkan kerinduanmu di bulan penuh berkah ini? Bangun dini hari untuk makan sahur bersama-sama anggota keluargamu dengan makanan hangat yang kemudian ketika bedug berbuka dilakukan bersama-sama juga. Nikmatilah kelezatan kebersamaan tersebut selagi bisa. Ramadhan adalah bulan penuh nikmat bagi siapa saja, dan bagi yang harus melaksanankannya sendirian rasanya Kanjeng Gusti Allah juga tidak akan lupa memberikan nikmatNYA dengan berbagai cara. Duh Gusti, rasanya ingin sepanjang tahun kau berikan nikmatMU seperti Ramadhan ini. Berilah kami kesempatan untuk menemuinya lagi tahun depan. Insya Allah.
Sahabat, pernahkah engkau merasakan hal sepele yang menimbulkan kerinduanmu di bulan penuh berkah ini? Bangun dini hari untuk makan sahur bersama-sama anggota keluargamu dengan makanan hangat yang kemudian ketika bedug berbuka dilakukan bersama-sama juga. Nikmatilah kelezatan kebersamaan tersebut selagi bisa. Ramadhan adalah bulan penuh nikmat bagi siapa saja, dan bagi yang harus melaksanankannya sendirian rasanya Kanjeng Gusti Allah juga tidak akan lupa memberikan nikmatNYA dengan berbagai cara. Duh Gusti, rasanya ingin sepanjang tahun kau berikan nikmatMU seperti Ramadhan ini. Berilah kami kesempatan untuk menemuinya lagi tahun depan. Insya Allah.
Mensyukuri
by Widia Erlangga on Thursday, August 26, 2010 at 1:01am
Sahabat, pernahkah engkau bangun ketika tengah malam dan memandangi anggota keluargamu ketika mereka terlelap dalam mimpinya? Pandangilah istrimu, suamimu, anak-anakmu – betapa damainya mereka, dan bersyukurlah setelah itu karena kalian termasuk orang-orang yang diberi karuniaNYA masih bersama mereka. Banyak diantara kita yang belum dapat melakukannya dengan berbagai alasan, belum berkeluarga, ditinggal wafat anggota keluarga, berpisah karena perbedaan pendapat, atau bahkan harus berpisah karena tuntutan mencari nafkah. Subhanallah, perbanyaklah bersyukur pada Kanjeng Gusti Allah untuk nikmat tersebut dan jangan sekali-kali engkau sia-siakan mereka.
Sahabat, pernahkah engkau bangun ketika tengah malam dan memandangi anggota keluargamu ketika mereka terlelap dalam mimpinya? Pandangilah istrimu, suamimu, anak-anakmu – betapa damainya mereka, dan bersyukurlah setelah itu karena kalian termasuk orang-orang yang diberi karuniaNYA masih bersama mereka. Banyak diantara kita yang belum dapat melakukannya dengan berbagai alasan, belum berkeluarga, ditinggal wafat anggota keluarga, berpisah karena perbedaan pendapat, atau bahkan harus berpisah karena tuntutan mencari nafkah. Subhanallah, perbanyaklah bersyukur pada Kanjeng Gusti Allah untuk nikmat tersebut dan jangan sekali-kali engkau sia-siakan mereka.
CATATAN DI AKHIR MINGGU
by Widia Erlangga on Saturday, July 24, 2010 at 10:48pm
Akhir minggu telah datang lagi pada semua orang termasuk diriku, lagi-lagi terbayang hari-hari tanpa bekerja yang harus kulewati yaitu sabtu dan minggu, hari-hari tanpa kesibukan, hari-hari tanpa rutinitas. Banyak (dan kebanyakan) orang mengharapkan akhir minggu segera tiba dan hanya sedikit yang tidak dapat berharap banyak pada akhir minggu (dan aku termasuk sedikit orang tersebut). Banyak yang sudah berencana diakhir minggu, menghabiskan waktu bersama keluarga, bersama pasangan, mengunjungi sanak keluarga, piknik, ke kebun binatang, makan bersama di restoran, ke mall, ke taman, dan lain sebagainya. Alangkah indahnya kehidupan ketika kita bisa bersama orang-orang yang kita kasihi dan sayangi di akhir minggu. Terkadang timbul rasa iri dihati ketika melihat kemesraan di akhir minggu, sementara mereka bisa berkumpul bersama-sementara aku harus menghabiskan akhir minggu ku di kamar kost dengan membaca buku, nonton dvd, atau sekedar menghabiskan satu bungkus Lucky Strike, atau bepergian dengan kesendirian ini, atau bersama teman-teman (tetapi tidak setiap akhir minggu terjadi karena mereka juga punya kesibukan dengan keluarga masing-masing).
Sampai pada suatu saat dimana aku kemudian menyadari bahwa aku masih termasuk dalam kelompok orang-orang yang beruntung tersebut, bagaimana tidak, aku punya keluarga, punya seorang istri dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan) yang meskipun terpisahkan jarak sekian ratus kilometer dari tempatku tetapi mereka adalah milikku. Karena mereka lah aku ada di kota ini sendirian jauh dari mereka, karena mereka lah aku memikul tanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga-suami-ayah untuk mencari nafkah. Bagaimana aku termasuk orang yang beruntung? Sebab dengan melihat disekitar ku aku melihat masih banyak yang benar-benar masih sendirian, atau yang sudah benar-benar berpisah dengan orang-orang yang mereka kasihi dan cintai. Tetapi aku yakin orang-orang tersebut juga masih menganggap dirinya beruntung dengan cara mereka masing-masing.
Jadi sebagai manusia ciptaan Kanjeng Gusti Allah, sudah sepatutnyalah kita bersyukur akan keadaan kita, seperti apapun keadaan tersebut. Jangan pernah menganggap diri kita sebagai orang yang tidak beruntung didunia ini, karena sesungguhnya masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung kita.
Kutisari 24 july 2010
UNTUK ANAKKU 'ABDUL' AZEEM ATHALLAH MALIK
tulisan ini sudah di publikasikan di facebook widia erlangga.
pagi tadi aku terbangun tanpa ada perasaan apapun selain bahwa sudah ada beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan.
pagi tadi aku melakukan aktifitasku seperti biasa sambil memikirkan pekerjaan yang menuntut konsentrasi lebih akhir-akhir ini.
pagi tadi aku begitu terhenyak ketika menerima sms dari bunda yang menanyakan apakah aku lupa bahwa hari ini adalah ulang tahun anakku AZEEM ATHALLAH MALIK yang ke-9 tahun.
Gusti Allah, tiba-tiba aku merasa menyesal setengah mati karena sampai melupakan ulang tahun sulungku yang ke-9.
Gusti Allah, kesibukan pekerjaan akhir-akhir ini telah membuatku 'melewatkan' segala hal tentang keluargaku : anak-anakku terutama.
Gusti Allah, aku segera menelphone kerumah tetapi ternyata AZEEM ATHALLAH MALIK sudah berangkat kesekolah...
Ya Allah, jadikan anakku AZEEM ATHALLAH MALIK sebagaimana kebaikan takdir MU.
Ya Allah, jadikanlah doa-doa ku terhadap AZEEM ATHALLAH MALIK dapat engkau wujudkan melalui cara MU
Ya Allah, berilah kekuatan bagiku agar dapat menjaga AZEEM ATHALLAH MALIK sampai kelak waktu MU
selamat ulang tahun AZEEM ATHALLAH MALIK, segala doa doa ayah panjatkan kepada Allah untuk mu, nak..
ps: namamu ayah tambahin abdul, nak :))
surabaya, 22 June 2010
Langganan:
Postingan (Atom)