Jacob Oetama – Pendiri Kompas
Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dia adalah salah satu raksasa jurnalis di negeri ini yang menawarkan jurnalisme damai dan berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, non-partisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan. Bulir air mata perlahan menetes di pipi tuanya yang mengeriput. Suaranya yang semula berat dan membahana di seisi ruangan, kontan berubah serak dan parau. Laki-laki tua yang siang itu berdiri di podium terhormat, tak lagi kuasa menahan rasa haru yang luar biasa. Dia menangis.
Jakob Oetama, laki-laki tua itu, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya. Pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dalam pidato promosi untuk memperoleh gelar doktor honoris causa (HC) itu, ia mengemukakan bahwa pencarian makna berita serta penyajian makna berita semakin merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa saat ini dan di masa depan. Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini.
Jakob Oetama adalah penerima doktor honoris causa ke- 18-yang dianugerahkan UGM-setelah pekan lalu gelar yang sama dianugerahkan UGM kepada Kepala Negara Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah. Promotor Prof Dr Moeljarto Tjokrowinoto dalam penilaiannya menyatakan, jasa dan karya Jakob Oetama dalam bidang jurnalisme pada hakikatnya merefleksikan jasa dan karyanya yang luar biasa dalam bidang kemasyarakatan dan kebudayaan. Ia juga telah memberikan pengaruh tertentu kepada kehidupan pers di Indonesia. Dalam pertimbangannya, UGM menilai
Jacob Oetama sejak tahun 1965 berhasil mengembangkan wawasan dan karya jurnalisme bernuansa sejuk, yaitu "kultur jurnalisme yang khas", wawasan jurnalistik yang berlandaskan filsafat politik tertentu. Kultur jurnalisme itu telah menjadi referensi bagi kehidupan jurnalisme di Indonesia. "Promovendus juga dipandang telah berhasil menggunakan pers sebagai wahana mengamalkan pilar-pilar humanisme transedental melalui kebijakan pemberitaan yang memberikan perhatian sentral pada masalah, aspirasi, hasrat, keagungan dan kehinaan manusia dan kemanusiaan,'' papar Rektor. Salah satu "kultur jurnalisme yang khas" yang dikembangkan promovendus adalah "jurnalisme damai". Jurnalisme damai merupakan proses penciptaan kultur jurnalisme baru, yang memungkinkan pers bertahan di tengah-tengah konfigurasi politik otoriter. Di bawah kepemimpinan Jacob Oetama telah terjadi metamorfosis pers dari pers yang sektarian menjadi media massa yang merefleksikan inclusive democracy. Promovendus juga telah meletakkan nilai yang menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan. Nilai yang dimaksud menjadi acuan para insan pers dalam mengumpulkan fakta, menulis berita, menyunting, serta menyiarkan berita.
Berkaitan dengan itu, sejumlah tokoh nasional menilai Jakob pantas menerima gelar doktor honoris causa (kehormatan) di bidang jurnalisme dari UGM tersebut. "Penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada Jakob sangat tepat. Sebab, dia adalah salah satu raksasa jurnalis di negeri ini yang berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, nonpartisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan," ujar Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais seusai mengikuti upacara penganugerahan doktor honoris causa di Balairung UGM. Sastrawan Taufik Ismail yang juga hadir menyatakan, "Ini sebuah penghargaan bagi seorang tokoh pers atas jasanya selama 4-5 dasawarsa mengembangkan jurnalisme yang damai namun berkarakter," katanya. Pengamat pers Ashadi Siregar mengatakan, penganugerahan gelar doktor honoris causa kepada Jakob sudah sepantasnya diberikan. Ia dinilai berhasil mempertahankan sekaligus mengembangkan eksistensi pers di tengah lingkungan politik Orde Baru yang menekan. "Itu sebuah prestasi.
Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan promotor Prof Dr Moeljarto Tjokrowinoto," tutur Siregar. Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Sofyan Lubis menyatakan senang karena Jakob memperoleh penghargaan dari perguruan tinggi ternama. Lubis juga sependapat bahwa itu pantas diberikan kepada Jakob, mengingat perjuangannya selama ini. "Banyak pembaruan yang bermanfaat yang dikerjakan Pak Jakob bagi kegiatan wartawan dalam mengembangkan peranan pers nasional, dengan tetap mengembangkan semangat kebangsaan saat itu. Dia itu saya lihat konsisten dan dia jadi contoh bagi yang lain," kata Lubis menambahkan.
Jacob sendiri menyatakan, penganugerahan doktor honoris causa merupakan kehormatan yang ia terima dengan sikap tahu diri. Ia menilai banyak tokoh pers yang lebih pantas untuk mendapat kehormatan seperti itu. Di akhir pidatonya setebal 21 halaman, dengan tulus dan penuh keharuan, pendiri dan pimpinan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) ini, mempersembahkan gelar terhormat itu kepada rekan-rekannya di dunia pers. "Kehormatan besar yang dianugerahkan oleh Universitas Gadjah Mada kepada saya, untuk merekalah kehormatan itu saya persembahkan," kata Jacob yang begitu terharu ketika menyebutkan rekan-rekan tokoh pers, seperti Rosihan Anwar, PK Ojong, Herawati Diah, Tuty Aziz, Wonohito, Hetami, Sakti Alamsyah, Rorimpandey, Manuhua, dan Mochtar Lubis. "Kepada rekan dan sahabat saya Manuhua yang sedang sakit di Makassar, tokoh kebebasan pers Indonesia Bung Mochtar Lubis, saya sampaikan hormat dan rasa syukur saya. Kehormatan besar yang dianugerahkan oleh Universitas Gadjah Mada kepada saya, untuk merekalah kehormatan itu saya persembahkan,'' tuturnya. Jacob Oetama, pantas untuk terharu sekaligus bangga. Gelar kehormatan yang diraihnya tersebut, sekaligus juga merupakan penghargaan bagi kegigihan dan keuletan para insan pers di negeri ini dalam memperjuangkan demokrasi, seperti juga yang telah dan masih dilakukannya. Melalui jurnalisme khas tersebut, Jacob secara konsisten dinilai telah menunjukkan bahwa misi jurnalisme bukan hanya sekadar menyampaikan informasi kepada pembaca, tetapi lebih dari itu misi pokoknya adalah untuk mendidik dan mencerahkan hati nurani anak bangsa. Jacob bahkan menanggalkan gaya jurnalismenya yang khas itu dengan nama ''jurnalisme makna.'' Dengan gaya jurnalisme makna tersebut, Jakob dengan Harian Kompas-nya dinilai secara konsisten telah berupaya menyadarkan hati nurani para pembaca tentang perlunya bangsa ini menghapuskan nilai-nilai primordial dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, menanamkan etika dan moral demokrasi serta keadilan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Prof Dr Moeljarto Tjokrowinoto, yang bertindak selaku promotor penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa itu, menyatakan, pemberian gelar kehormatan itu merupakan prakarsa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, yang akhirnya disetujui oleh Majelis Guru Besar UGM dalam rapatnya 23 Januari 2003. Tim Seleksi Penerima Gelar Doktor Kehormatan, kata Prof Moeljarto, telah melakukan kajian secara saksama atas karya-karya Jacob Oetama selama ini sebagaimana yang terhimpun dalam beberapa buku seperti Suara Nurani, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, Pers Indonesia, Dunia Usaha dan Etika Bisnis, Persepektif Pers Indonesia, dan berbagai kearifan yang telah ditunjukkannya dalam kehidupan profesional di bidang pers.
Tim yang diketuai Prof Moeljarto, beranggotakan Prof Dr Sofian Effendi, Prof Dr Bambang Sudibyo MBA, Prof Dr Kunto Wibisono, Prof Dr Sunyoto Usman, dan Prof Dr Siti Chamamah Soeratno.
Jacob Oetama lahir di Borobudur, 27 September 1931. Setelah lulus Guru Sejarah B-1 (1956), lalu melanjutkan studi di Jurusan Jurnalisme Akademi Jurnalistik Jakarta dan lulus tahun 1959. Pendidikan terakhir mantan guru sejarah SLTP dan SMU di Jakarta itu di Jurusan Publisistik Fisipol UGM. Pengalaman kerja di bidang jurnalisme dimulai dari editor majalah Penabur, Ketua Editor majalah bulanan Intisari, Ketua Editor harian Kompas, Pemimpin Umum/Redaksi Kompas, dan Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia. Sejumlah karya tulis Jacob Oetama, antara lain, Kedudukan dan Fungsi Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin, yang merupakan skripsi di Fisipol UGM tahun 1962, Dunia Usaha dan Etika Bisnis (Penerbit Buku Kompas, 2001), serta Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan (Penerbit Buku Kompas, 2002). Jacob juga berkiprah dalam berbagai organisasi dalam maupun luar negeri. Beberapa diantaranya pernah menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Anggota DPR Utusan Golongan Pers, Pendiri dan Anggota Dewan Kantor Berita Nasional Indonesia, Anggota Dewan Penasihat PWI, Anggota Dewan Federation Internationale Des Editeurs De Journaux (FIEJ), Anggota Asosiasi International Alumni Pusat Timur Barat Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, dan Ketua Bidang Organisasi dan Manajemen Serikat Penerbit Surat Kabar.
sumber : let's go indonesia
Rabu, 15 Oktober 2008
KISAH ORANG TERKENAL : BOB SADINO
Bob Sadino – Juragan Agrobisnis
Bob Sadino adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Bob berwirausaha karena "kepepet", selepas SMA tahun 1953, ia bekerja di Unilever kemudian masuk ke Fakultas Hukum UI karena terbawa oleh teman-temannya selama beberapa bulan. Kemudian dia bekerja pada McLain and Watson Coy, sejak 1958 selama 9 tahun berkelana di Amsterdam dan Hamburg.
Setelah menikah, Bob dan istri memutuskan menetap di Indonesia dan memulai tahap ketidaknyamanan untuk hidup miskin, padahal waktu itu istrinya bergaji besar. Hal ini karena ia berprinsip bahwa dalam keluarga, laki-laki adalah pemimpin, dan ia pun bertekad untuk tidak jadi pegawai dan berada di bawah perintah orang sejak saat itu ia pun bekerja apa saja mulai dari sopir taksi hingga mobilnya tertubruk dan hancur , kemudian kuli bangunan dengan upah Rp 100 per hari.
Suatu hari seorang temannya mengajaknya untuk memelihara ayam untuk mengatasi depresi yang dialaminya, dari memelihara ayam tsb ia terinspirasi bahwa kalau ayam saja bisa memperjuangkan hidup, bisa mencapai target berat badan, dan bertelur,tentunya manusia pun juga bisa, sejak saat itulah ia mulai berwirausaha.
Pada awalnya sebagai peternak ayam, Bob menjual telor beberapa kilogram per hari bersama istrinya. Dalam satu setengah tahun, dia sudah banyak relasi karena menjaga kualitas dagangan,dengan kemampuannya berbahasa asing, ia berhasil mendapatkan pelanggan orang-orang asing yang banyak tinggal di kawasan Kemang, tempat tinggal Bob ketika itu.Selama menjual tidak jarang dia dan istrinya dimaki-maki oleh pelanggan bahkan oleh seorang babu.
Namun Bob segera sadar kalo dia adalah pemberi service dan berkewajiban memberi pelayanan yang baik, sejak saat itulah dia mengalami titik balik dalam sikap hidupnya dari seorang feodal menjadi servant, yang ia anggap sebagai modal kekuatan yang luar biasa yang pernah ia miliki.
Usaha Bob pun berkembang menjadi supermarket, kemudian dia pun juga menjual garam,merica, sehingga menjadi makanan.Om Bob pun akhirnya merambah ke agribisnis khususnya holtikultura, mengelola kebun-kebun yang banyak berisi sayur mayur konsumsi orang-orang Jepang dan Eropa dia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah untuk memenuhi.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diimbangi kegagalan, perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira orang, dia sering berjumpalitan dan jungkir balik dalam usahanya. Baginya uang adalah nomer sekian, yang penting adalah kemauan, komitmen tinggi, dan selalu bisa menemukan dan berani mengambil peluang.
Bob berkesimpulan bahwa saat melaksanakan sesuatu pikiran kita berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, apa yang ada pada diri kita adalah pengembangan dari apa yang telah kita lakukan. Dunia ini terlampau indah untuk dirusak, hanya untuk kekecewaan karena seseorang tidak ,mencapai sesuatu yang sudah direncanakan.Kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak mikir membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah, yang penting adalah action. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan, setelah mengalami jatuh bangun, akhirnya Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman yang selalu dimulai dari ilmu dulu, baru praktek lalu menjadi terampil dan professional.
Menurut pengamatan Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu berpikir dan bertindak serba canggih, bersikap arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.Om Bob selalu luwes terhadap pelanggan dan mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan, sehingga dengan sikapnya tersebut Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelangan akan membawa kepuasan pribadinya untuk itu ia selalu berusaha melayani klien sebaik-baiknya.
Bob menganggap bahwa perusahaannya adalah keluarga, semua anggota keluarga Kem harus saling menghargai, tidak ada yang utama,semuanya punya fungsi dan kekuatan sendiri-sendiri.
sumber : let's go indonesia
Bob Sadino adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Bob berwirausaha karena "kepepet", selepas SMA tahun 1953, ia bekerja di Unilever kemudian masuk ke Fakultas Hukum UI karena terbawa oleh teman-temannya selama beberapa bulan. Kemudian dia bekerja pada McLain and Watson Coy, sejak 1958 selama 9 tahun berkelana di Amsterdam dan Hamburg.
Setelah menikah, Bob dan istri memutuskan menetap di Indonesia dan memulai tahap ketidaknyamanan untuk hidup miskin, padahal waktu itu istrinya bergaji besar. Hal ini karena ia berprinsip bahwa dalam keluarga, laki-laki adalah pemimpin, dan ia pun bertekad untuk tidak jadi pegawai dan berada di bawah perintah orang sejak saat itu ia pun bekerja apa saja mulai dari sopir taksi hingga mobilnya tertubruk dan hancur , kemudian kuli bangunan dengan upah Rp 100 per hari.
Suatu hari seorang temannya mengajaknya untuk memelihara ayam untuk mengatasi depresi yang dialaminya, dari memelihara ayam tsb ia terinspirasi bahwa kalau ayam saja bisa memperjuangkan hidup, bisa mencapai target berat badan, dan bertelur,tentunya manusia pun juga bisa, sejak saat itulah ia mulai berwirausaha.
Pada awalnya sebagai peternak ayam, Bob menjual telor beberapa kilogram per hari bersama istrinya. Dalam satu setengah tahun, dia sudah banyak relasi karena menjaga kualitas dagangan,dengan kemampuannya berbahasa asing, ia berhasil mendapatkan pelanggan orang-orang asing yang banyak tinggal di kawasan Kemang, tempat tinggal Bob ketika itu.Selama menjual tidak jarang dia dan istrinya dimaki-maki oleh pelanggan bahkan oleh seorang babu.
Namun Bob segera sadar kalo dia adalah pemberi service dan berkewajiban memberi pelayanan yang baik, sejak saat itulah dia mengalami titik balik dalam sikap hidupnya dari seorang feodal menjadi servant, yang ia anggap sebagai modal kekuatan yang luar biasa yang pernah ia miliki.
Usaha Bob pun berkembang menjadi supermarket, kemudian dia pun juga menjual garam,merica, sehingga menjadi makanan.Om Bob pun akhirnya merambah ke agribisnis khususnya holtikultura, mengelola kebun-kebun yang banyak berisi sayur mayur konsumsi orang-orang Jepang dan Eropa dia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah untuk memenuhi.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diimbangi kegagalan, perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira orang, dia sering berjumpalitan dan jungkir balik dalam usahanya. Baginya uang adalah nomer sekian, yang penting adalah kemauan, komitmen tinggi, dan selalu bisa menemukan dan berani mengambil peluang.
Bob berkesimpulan bahwa saat melaksanakan sesuatu pikiran kita berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, apa yang ada pada diri kita adalah pengembangan dari apa yang telah kita lakukan. Dunia ini terlampau indah untuk dirusak, hanya untuk kekecewaan karena seseorang tidak ,mencapai sesuatu yang sudah direncanakan.Kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak mikir membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah, yang penting adalah action. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan, setelah mengalami jatuh bangun, akhirnya Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman yang selalu dimulai dari ilmu dulu, baru praktek lalu menjadi terampil dan professional.
Menurut pengamatan Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu berpikir dan bertindak serba canggih, bersikap arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.Om Bob selalu luwes terhadap pelanggan dan mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan, sehingga dengan sikapnya tersebut Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelangan akan membawa kepuasan pribadinya untuk itu ia selalu berusaha melayani klien sebaik-baiknya.
Bob menganggap bahwa perusahaannya adalah keluarga, semua anggota keluarga Kem harus saling menghargai, tidak ada yang utama,semuanya punya fungsi dan kekuatan sendiri-sendiri.
sumber : let's go indonesia
KISAH ORANG TERKENAL : BAMBANG N RACHMADI
Bambang N Rachmadi - Mcdonald’s Indonesia
Suatu malam penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald’s di kawasan Orchard Road Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M khas McDonald’s, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir Panin Bank tadi tampak serius bekerja. Jatuh miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam.
Tak terdengar lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun kemudian banyak pengusaha Indonesia melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. “Soalnya saya mesti jaga rahasia. Saya nggak ingin pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada saya,” ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan pengelola jaringan restoran McDonald’s Indonesia. Kehati-hatian Tonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar. Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah keluar dari Panin. Apalagi, ia harus menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur.
Pada Februari 1991, restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama 2,5 tahun dari dunia bisnis Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39 kandidat. Ide menjadi wirausaha bermula ketika ia mulai “bosan” menjadi pucuk pimpinan di bank milik Mu’min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin Bank pada usia 35 tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974, sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension, kelahiran Jakarta 41 tahun silam ini bekerja di PT Cicero Indonesia.
Setahun kemudian ia hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang internasional banking & finance dari Saint Mary’s Graduate School of Business Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke Bank Duta pada 1978. Setelah sempat manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing director International Banking pada September 1986 untuk bergabung dengan Panin Bank.
Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa malapetaka. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat lagi. “Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh BI,” ucap Tonny suatu ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah membuatnya gerah. “Salah satu yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank,” ucap Tonny dengan lirih. Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak berperan sebagai penasihat bagi kalangan usaha. “Saya tergugah untuk membuktikan diri sebagai pemain,” ucap lelaki yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun itu. Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. “Saya ingin jadi pengusaha yang sukses,” katanya penuh semangat. Sebelum mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei tentang beberapa bidang usaha yang potensi perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya terlintas beberapa bidang usaha, toh industri makananlah, menurut dia, yang paling pas baginya. Dan McDonald’s adalah partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini restoran MD cukup bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. “Saya berketetapan harus bisa memperoleh lisensi MD,” ucap bapak tiga anak yang rambutnya sudah dua warna itu. Memperoleh lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah. Paling tidak terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, ada 13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang berhasil. Dan yang lebih berat, konon, MD tak menginginkan mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%. Itulah sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih mengundurkan diri dari Panin, hanya dengan satu cita-cita: memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang terkesan Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14 tahun di dunia perbankan. Padahal, keinginannya untuk menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai. “Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap mulai lagi,” kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai mengurus permohonannya ke MD. Setelah itu? “Hari-hari penantian yang menegangkan,” ucap Tonny bersemangat. Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun sampai diperbolehkan mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu yang belum pasti sangat menegangkan bagi Tonny. Karena itu ia selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. “Paling tidak seminggu sekali saya berusaha menelepon mereka sekedar just to say hello,” ucap lelaki yang pernah diusir dan diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat ini. Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua yang ia lakukan dengan satu tujuan, “Saya harus menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan.” Menurut Tonny, MD adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam menyeleksi calon mitra kerjanya. Konon, sebelum memilih Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga besar Tonny. “Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan kehidupan keluarga kami,” jelasnya. Karena, MD menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh anak-anak Tonny. Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati – setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala persoalan yang terjadi dalam manajemen PT Ramako Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham di situ. Hal ini disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan kalau tiba-tiba saja saham RG berpindah tangan ke pihak lain yang juga memiliki bisnis fast food merek lain, misalnya. MD juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus juga pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang yang mengambil keputusan di bisnis ini nantinya adalah orang yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka, sejak awal pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya tentang siapa yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald’s. Begitulah. Setelah satu tahun menegangkan, datanglah keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. “Karena di sana banyak orang Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih tinggi,” kata lelaki yang gemar naik motor gede ini. Dan benar, selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny harus berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari Indonesia. Selain pelatihan yang bentuknya non manajerial, Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam nonstop. Dari situ akan terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak. Karena, pada jam-jam pertama barangkali orang masih bisa bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam ke-8 dan seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi, hilanglah sikap manis. “Biasanya banyak yang nggak lulus di sini,” ucap Tonny, lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang sebelumnya tak pernah mengepel lantai, apalagi membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua pekerjaan – yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak – itu dengan hati lapang. Walau sering kali ia harus menerima bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran dinilai kurang bersih, misalnya. Hasilnya memang memuaskan. Dia berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga kandidat. Dari pelatihan “kuli” tadi, baru Tonny digodok di Sekolah milik McDonald’s yaitu: McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu mendidik para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah dialaminya kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD Indonesia. Setiap manajer yang ada di MD adalah orang yang telah dilatih dari bawah. “Jadi nggak mungkin seseorang masuk langsung jadi store manager,” ucap pengusaha yang suka berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah seorang manajer yang sempat merasakan pelatihan gaya MD. Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk karyawan pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu bergabung dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura untuk mengikuti program pelatihan. Sebelum diterima menjadi karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan program OJE. Dalam program ini ia diberi kesempatan mengenal pekerjaan crew dalam beberapa shift. Dari “latihan” tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau tidak, untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya selama lima bulan. “Saya dulu nggak pernah membayangkan kalau training-nya seperti itu,” ucap Muti, first assistant store manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni lalu. Ternyata kini Muti justru sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan, tak jarang ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk menunggu mesin yang sedang direparasi misalnya. Ketika digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus melalui tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di salah satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta dibuka, single yang hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah menjadi second assistant store manager. Selain Muti, masih banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi manajer-manajer di lima outlet MD. Dan selama ini proses pendidikan terus berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny menargetkan akan membuka 10 cabang di seluruh Nusantara. Hasil kerja keras Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang cukup menakjubkan. Setidaknya, itu terlihat ketika restoran pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu menggebrak pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4 ribu transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991 meramalkan penjualan outlet Tonny akan menempati posisi teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh dunia. Setelah menjadi wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000 orang, masihkan ia berpikir untuk jadi bankir lagi? “Saat ini sih nggak,” ucapnya serius. Tampaknya, saat ini Tonny lebih suka berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya ketimbang kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny tergoda juga untuk masuk ke bank lagi. Itu terjadi ketika ia mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. “Sebagai pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi komisaris. Saya tetap memegang MD. Komitmen saya penuh pada MD,” kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan “nekat” menjadi pengelola bank lagi. Dengan 42 outlet yang dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan arus kas yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa yang sudi melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki usaha sendiri minimal Tonny terbebas dari keharusan berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah terbiasa mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson untuk memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta. Hadirnya MD di Indonesia, ternyata tak cuma menambah “gemuk” Tonny – yang nyaris menamai kegendutan mascot MD – saja. “Berat badan saya 70 kg,” ucapnya dengan mimik serius. “Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala. Ha…ha…ha…,” sambil tertawa berderai. Yang jelas, Sarinah, gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta ini juga terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980-an Sarinah nyaris hilang dari peredaran. Apalagi munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang lain, semakin menenggelamkan nama Sarinah. Namun setelah MD mangkal di situ Sarinah menjadi marak kembali. Itulah Tonny, dia adalah satu diantara segelintir profesional yang berani mengambil resiko. Melepaskan atribut keprofesionalannya, kemudian memulai dari nol untuk menjadi seorang wirausaha. Dan berhasil ! Kini dia peroleh nama baru : Mr. McDonald’s.
sumber : let's go indonesia
Suatu malam penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald’s di kawasan Orchard Road Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M khas McDonald’s, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir Panin Bank tadi tampak serius bekerja. Jatuh miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam.
Tak terdengar lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun kemudian banyak pengusaha Indonesia melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. “Soalnya saya mesti jaga rahasia. Saya nggak ingin pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada saya,” ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan pengelola jaringan restoran McDonald’s Indonesia. Kehati-hatian Tonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar. Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah keluar dari Panin. Apalagi, ia harus menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur.
Pada Februari 1991, restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama 2,5 tahun dari dunia bisnis Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39 kandidat. Ide menjadi wirausaha bermula ketika ia mulai “bosan” menjadi pucuk pimpinan di bank milik Mu’min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin Bank pada usia 35 tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974, sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension, kelahiran Jakarta 41 tahun silam ini bekerja di PT Cicero Indonesia.
Setahun kemudian ia hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang internasional banking & finance dari Saint Mary’s Graduate School of Business Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke Bank Duta pada 1978. Setelah sempat manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing director International Banking pada September 1986 untuk bergabung dengan Panin Bank.
Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa malapetaka. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat lagi. “Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh BI,” ucap Tonny suatu ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah membuatnya gerah. “Salah satu yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank,” ucap Tonny dengan lirih. Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak berperan sebagai penasihat bagi kalangan usaha. “Saya tergugah untuk membuktikan diri sebagai pemain,” ucap lelaki yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun itu. Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. “Saya ingin jadi pengusaha yang sukses,” katanya penuh semangat. Sebelum mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei tentang beberapa bidang usaha yang potensi perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya terlintas beberapa bidang usaha, toh industri makananlah, menurut dia, yang paling pas baginya. Dan McDonald’s adalah partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini restoran MD cukup bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. “Saya berketetapan harus bisa memperoleh lisensi MD,” ucap bapak tiga anak yang rambutnya sudah dua warna itu. Memperoleh lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah. Paling tidak terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, ada 13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang berhasil. Dan yang lebih berat, konon, MD tak menginginkan mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%. Itulah sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih mengundurkan diri dari Panin, hanya dengan satu cita-cita: memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang terkesan Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14 tahun di dunia perbankan. Padahal, keinginannya untuk menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai. “Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap mulai lagi,” kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai mengurus permohonannya ke MD. Setelah itu? “Hari-hari penantian yang menegangkan,” ucap Tonny bersemangat. Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun sampai diperbolehkan mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu yang belum pasti sangat menegangkan bagi Tonny. Karena itu ia selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. “Paling tidak seminggu sekali saya berusaha menelepon mereka sekedar just to say hello,” ucap lelaki yang pernah diusir dan diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat ini. Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua yang ia lakukan dengan satu tujuan, “Saya harus menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan.” Menurut Tonny, MD adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam menyeleksi calon mitra kerjanya. Konon, sebelum memilih Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga besar Tonny. “Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan kehidupan keluarga kami,” jelasnya. Karena, MD menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh anak-anak Tonny. Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati – setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala persoalan yang terjadi dalam manajemen PT Ramako Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham di situ. Hal ini disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan kalau tiba-tiba saja saham RG berpindah tangan ke pihak lain yang juga memiliki bisnis fast food merek lain, misalnya. MD juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus juga pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang yang mengambil keputusan di bisnis ini nantinya adalah orang yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka, sejak awal pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya tentang siapa yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald’s. Begitulah. Setelah satu tahun menegangkan, datanglah keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. “Karena di sana banyak orang Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih tinggi,” kata lelaki yang gemar naik motor gede ini. Dan benar, selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny harus berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari Indonesia. Selain pelatihan yang bentuknya non manajerial, Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam nonstop. Dari situ akan terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak. Karena, pada jam-jam pertama barangkali orang masih bisa bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam ke-8 dan seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi, hilanglah sikap manis. “Biasanya banyak yang nggak lulus di sini,” ucap Tonny, lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang sebelumnya tak pernah mengepel lantai, apalagi membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua pekerjaan – yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak – itu dengan hati lapang. Walau sering kali ia harus menerima bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran dinilai kurang bersih, misalnya. Hasilnya memang memuaskan. Dia berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga kandidat. Dari pelatihan “kuli” tadi, baru Tonny digodok di Sekolah milik McDonald’s yaitu: McDonalds Corporation Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu mendidik para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah dialaminya kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD Indonesia. Setiap manajer yang ada di MD adalah orang yang telah dilatih dari bawah. “Jadi nggak mungkin seseorang masuk langsung jadi store manager,” ucap pengusaha yang suka berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah seorang manajer yang sempat merasakan pelatihan gaya MD. Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk karyawan pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu bergabung dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura untuk mengikuti program pelatihan. Sebelum diterima menjadi karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan program OJE. Dalam program ini ia diberi kesempatan mengenal pekerjaan crew dalam beberapa shift. Dari “latihan” tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau tidak, untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya selama lima bulan. “Saya dulu nggak pernah membayangkan kalau training-nya seperti itu,” ucap Muti, first assistant store manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni lalu. Ternyata kini Muti justru sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan, tak jarang ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk menunggu mesin yang sedang direparasi misalnya. Ketika digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus melalui tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di salah satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta dibuka, single yang hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah menjadi second assistant store manager. Selain Muti, masih banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi manajer-manajer di lima outlet MD. Dan selama ini proses pendidikan terus berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny menargetkan akan membuka 10 cabang di seluruh Nusantara. Hasil kerja keras Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang cukup menakjubkan. Setidaknya, itu terlihat ketika restoran pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu menggebrak pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4 ribu transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991 meramalkan penjualan outlet Tonny akan menempati posisi teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh dunia. Setelah menjadi wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000 orang, masihkan ia berpikir untuk jadi bankir lagi? “Saat ini sih nggak,” ucapnya serius. Tampaknya, saat ini Tonny lebih suka berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya ketimbang kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny tergoda juga untuk masuk ke bank lagi. Itu terjadi ketika ia mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. “Sebagai pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi komisaris. Saya tetap memegang MD. Komitmen saya penuh pada MD,” kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan “nekat” menjadi pengelola bank lagi. Dengan 42 outlet yang dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan arus kas yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa yang sudi melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki usaha sendiri minimal Tonny terbebas dari keharusan berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah terbiasa mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson untuk memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta. Hadirnya MD di Indonesia, ternyata tak cuma menambah “gemuk” Tonny – yang nyaris menamai kegendutan mascot MD – saja. “Berat badan saya 70 kg,” ucapnya dengan mimik serius. “Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala. Ha…ha…ha…,” sambil tertawa berderai. Yang jelas, Sarinah, gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta ini juga terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980-an Sarinah nyaris hilang dari peredaran. Apalagi munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang lain, semakin menenggelamkan nama Sarinah. Namun setelah MD mangkal di situ Sarinah menjadi marak kembali. Itulah Tonny, dia adalah satu diantara segelintir profesional yang berani mengambil resiko. Melepaskan atribut keprofesionalannya, kemudian memulai dari nol untuk menjadi seorang wirausaha. Dan berhasil ! Kini dia peroleh nama baru : Mr. McDonald’s.
sumber : let's go indonesia
KISAH ORANG TERKENAL : AIRIFIN PANIGORO
Arifin Panigoro - Raja Minyak Yang Aktif Di Politik
Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengah “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.
Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengah “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyataan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.
sumber : let's go indonesia
Jumat, 10 Oktober 2008
sesama manusia
Bulan ramadhan sudah lewat dan berganti dengan bulan syawal.
kita sudah saling memaafkan antara sesama manusia, baik itu tua-muda, orangtua-anak, teman-teman, saudara-saudara, sesama muslim maupun antara sesama umat beragama.
kita sudah saling memaafkan antara sesama manusia, baik itu tua-muda, orangtua-anak, teman-teman, saudara-saudara, sesama muslim maupun antara sesama umat beragama.
"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI"
Begitu ucapan yang sering kita dengar, baik melalui email, sms, telephone, maupun ketika beranjangsana, Mohon maaf lahir Bathin balasan ucapannya.
Indahnya dunia jika semua orang/umat manusia langsung mau meminta maaf dan saling memaafkan ketika terdapat kesalahan diantara mereka....tidak ada perseteruan, dendam, amarah lagi.
oi alangkah indahnya....
Langganan:
Postingan (Atom)